Yang Sering Disalahpahami Tentang Kesehatan Mental



Miskonsepsi Pada Kesehatan Mental 

Ditulis oleh : Fatihatun Puti Sabrina


Kembali lagi dengan topik mengenai kesehatan mental. Kali ini saya tidak berniat untuk sharing pengalaman. Saya juga tidak akan membahas dari segi akademis dan medis secara mendetail, karena  saya bukan seseorang yang memiliki background dalam dunia psikologi. Saya hanya belajar dan memahami dari pengalaman, melihat, mendengar, juga membaca sudut pandang beberapa psikolog dituangkan dalam sebuah buku, kemudian mencoba berasumsi dari sudut pandang saya sebagai seorang manusia. Jadi silahkan dikoreksi bila terdapat kekeliruan. 


Miskonsepsi Pada Kesehatan Mental
Pentingnya Kesehatan Mental 



Ada hal yang masih mengganjal, dan rasanya akan lebih baik jika kita bahas di sini. Sebenarnya saya melihat hal ini terjadi sejak lama, dan setelah memberi waktu dengan harapan mungkin keadaan ini akan berakhir, kekeliruan itu masih terjadi. Masih banyak kesalahpahaman yang membuat hati ini rasanya jengkel setengah mati.


Kadang saya berpikir, 

Berapa banyak orang yang mungkin bisa diselamatkan dari suicide bila kita lebih peka, sehingga mereka  dapat terbuka tanpa merasa takut pada orang di sekitar mereka?

Berapa banyak orang yang dapat terselamatkan dari major depresi bila kita mau mendengar, memahami berbagai sudut pandang, dibanding menilai dan menghakimi dari sudut pandang kita sendiri? 

Dan seberapa bahagianya dunia ini, bila kita mau memandang keterbukaan emosi bukan sebagai bentuk dari kelemahan, tetapi bentuk kekuatan dan kesadaran atas kondisi mental dan jiwa kita?


Saya bisa melihat jika saat ini kesadaran masyarakat mengenai eksistensi mental disorder semakin meningkat. Tetapi masih banyak kekeliruan yang terjadi. Sesederhana pemahaman yang beredar bahwa depresi merupakan emosi dan bukan penyakit. Emosi hanya terjadi dalam jangka waktu tertentu, emosi tidak membuat seseorang kehilangan minat hidup. Tetapi mental disorder, terutama depresi membuat seseorang mengalami kekacauan dari aspek bio-psiko-dan spiritual.

Saya rasa, ketika kita sudah benar-benar memahami bahwa depresi, anxiaty, dll merupakan mental disorder dan sebuah penyakit "real". Kita tidak akan lagi memiliki anggapan bahwa seseorang bereaksi berlebihan. Kita tidak lagi menghakimi dengan berpikir bahwa orang dengan mental disorder adalah orang yang mentalnya lemah.


Selain kondisi psikis, mental disorder juga berpengaruh pada kondisi biologis!


Orang yang terkena depresi dan PTSD memiliki hipokampus (salah satu bagian di otak) yang cenderung mengecil dari orang yang tidak mengalaminya. Depresi juga juga digadang-gadang menjadi penyebab turunnya hormon serotonin (mempengaruhi mood, kestabilan, dan rasa senang). Dan dari kondisi fisik--mental disorder bisa berdampak pada pencernaan, konstipasi, insomnia, bagian tubuh atau bahkan seluruh tubuh terasa sakit dan lelah.  


Dari sini kita bisa melihat jika cara berpikir, memandang kehidupan, dan kondisi tubuh seseorang dapat terpengaruh ketika mereka mengalami mental disorder. Ini bukan pilihan, ini juga bukan reaksi berlebihan apalagi mendramatisir keadaan, tetapi ini merupakan kenyataan yang seharusnya membuat kita bisa membuka mata bersama-sama.

Beberapa teman saya, yang tengah berjuang mengatasi kekacauan mental yang mereka alami, mengeluhkan buruknya respon dan reaksi orang di sekitar mereka mengenai hal ini. Hal ini terjadi karena masih adanya misconception mengenai kesehatan mental. 

Seperti contohnya, mengatakan jangan cemas kepada seseorang yang memiliki "anxiaty disorder" , alih alih membantunya untuk mengatasi panick attack yang ia alami. 

Mengatakan "Tidak usah sedih berlebihan" atau "Masa seperti itu aja stres", pada orang yang mengalami depresi, padahal sudah jelas bila depresi merupakan penyakit, bukan emosi sementara. 

Begitu juga dengan mengatakan "Jangan bersikap berlebihan," atau, "Jangan takut, biasa saja". Pada orang yang mengalami PTSD. Padahal reaksi yang ia keluarkan mungkin merupakan dampak dari trigger yang kembali muncul. 

Bermaksud ataupun tidak, kata kata di atas akan membuat luka yang dalam. Hal ini bisa membuat orang yang mengalami mental disorder merasa bersalah dengan apa yang ia rasakan. Padahal apa yang terjadi pada diri mereka adalah sesuatu yang valid. Selain itu, seorang psikolog yang pernah saya datangi mengatakan bahwa kita bisa meminta bantuan bila apa yang  kita alami mempengaruhi kemampuan kita dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Saya pernah terjebak dalam situasi tersebut. Merasa bersalah ketika bercerita hingga saya mengabaikan semua yang saya rasakan. Dan saya berakhir seperti apa yang saya ceritakan dalam postingan beberapa waktu lalu. Sad and tragic.

Petingnya Belajar Memahami dan Mengerti satu sama lain.

Teman-teman, kita perlu memahami bersama sama. Ketika seseorang datang untuk menceritakan masalahnya, entah ia lelaki atau perempuan, kita perlu mengerti bahwa hal tersebut merupakan tanda kepercayaan yang ia berikan kepada kita. Dan kepercayaan mahal harganya. Mungkin,  kita adalah harapan terakhir untuk mereka berkeluh kesah.

Pemahaman mengenai emosi yang terkesan hanya wajar diekspresikan oleh perempuan juga perlu kita luruskan. Laki - laki juga memiliki emosi, yang membedakan adalah bagaimana kita mengelola dan bereaksi terhadap apa yang kita rasakan.

It's okay, untuk seorang lelaki merasa sedih, bahkan menangis!

Menunjukkan sisi emosional sudah seharusnya kita pandang sebagai sesuatu yang manusiawi. Bila lelaki sampai tidak bisa mengenali emosinya, dan keadaan mentalnya kacau, ia memiliki kemungkinan besar untuk melampiaskan hal ini kepada orang yang ia anggap lemah. Contoh : perempuan dan anak-anak. Saya melihat hal ini terjadi pada beberapa orang di sekitar saya, dan jangan sampai banyak orang yang mengalaminya kembali. Kita juga perlu memahami bahwa masing-masing orang memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda, seperti misalnya :  Highly sensitive people (HSP) Pengertian, dan ciri


Hurt people hurt people. That's truth. 

Di sini kita perlu memahami, bahwa stressor masing-masing orang berbeda. Terdapat orang yang lebih stres bila menyangkut percintaan, ada juga yang stres bila menyangkut pekerjaan dan pencapaian hidup. Menjadikan berat tidaknya masalah seseorang dari cara kita memandang permasalahan tentu bukan hal yang bijak. 

Kita perlu belajar untuk mengerti bahwa kita memiliki kapasitas masing-masing. Terbiasalah untuk melihat suatu kejadian dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan begitu, saya yakin akan ada lebih banyak kesempatan untuk kita memahami dan terhubung satu sama lain. 

Terimakasih telah meluangkan waktu membaca postingan ini, mohon maaf untuk beberapa opini yang kurang berkenan dan kata-kata yang salah.  Semoga kita semua bahagia selalu. 



Peluk dari jauh, 
Puti Sabrina.  :)

You get the best version of me when i feel save around you. My femininity flourishes in healthy environments. I protect that version of me because i've spent so much time healing and preserving that version of me - Jojo, The minds Journal

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »