Personal Journey : Menglepas Pola Lama Yang Terus Terulang Dalam Hidup
Ditulis oleh : Fatihatun Puti Sabrina
Dalam hidup, kita tentu menghadapi banyak pelajaran untuk mendukung perkembangan diri kita—baik
mental, emosional, maupun spiritual. Saat kita belum belajar dari masalah
yang kita hadapi, sangat mungkin bila pelajaran yang sama kembali terjadi.
Menyebabkan perulangan pola lama terus terulang, sekalipun kita dihadapkan dengan kondisi dan
orang yang berbeda.
Kurang lebih dua tahun lalu—saya menyadari bila saya
dihadapkan pada satu permasalahan dan belum bisa memahami makna sebenarnya dari apa yang terjadi, maka pola yang sama akan terulang kembali dalam hidup saya. Saya menghadapi masalah yang sama, rasa sakit yang sama, sekalipun dengan situasi dan
orang yang berbeda.
Kesadaran yang sudah muncul dua tahun lalu nyatanya tidak membuat
semua dapat saya terapkan dengan mudah. Rasanya sulit untuk melihat
sesuatu dengan lensa yang jernih ketika saya berdiri langsung di tengah
masalah. Saya membutuhkan waktu cukup lama untuk menyadari bahwa siklus ini
telah terjadi cukup lama. Ini juga yang menyebabkan beberapa orang menyebutnya
sebagai siklus karma hidup.
But before we dive deep into it, saya perlu menyampaikan
bahwa siklus karma yang saya bahas di sini tidak merujuk pada orang tertentu. Siklus karma yang saya maksud lebih me-representasikan pelajaran pahit hidup yang harus saya mengerti. Mungkin saya tidak akan menceritakan semuanya secara eksplisit, saya hanya ingin bercerita melalui perjalanan saya. Saya harap teman-teman dapat memahami makna tersirat dari apa yang saya ceritakan sini.
Menyadari Apa Yang Coba Hidup Ajarkan Kepada Kita
Semua berawal dari pertemuan saya dengan seseorang yang memberikan
pembelajaran terbesar dalam hidup saya, tepatnya pada 2019 silam. Kehadirannya dalam hidup saya memberikan perkembangan jiwa yang
luar biasa. Semua terjadi dengan sangat cepat, bahkan bila saya boleh berkata jujur,
ia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan spiritual saya.
Ia mengenalkan saya pada diri saya.
Physically, mungkin saya hanya bertemu dengannya sekitar 3-4 bulan, namun
perkembangan diri saya terus berlangsung setelahnya. Rasanya menggelikan
menyadari bahwa seseorang yang memberikan kebahagiaan terbesar dalam hidup saya
merupakan orang sama yang memberikan saya luka paling dalam. Ketika
saya menunjuk semua hal yang saya benci dari dirinya, jemari saya seperti
berbalik dan menunjuk diri sendiri, menyadari permasalahan yang selama ini tidak saya sadari.
So it's not only about him, his behavior, or his fault.
But it's all about my
deepest wound, my scars, my trauma
For example, saya tumbuh
dengan pemikiran bahwa saya harus bisa melindungi diri saya sendiri, saya harus
memastikan bahwa saya merasa aman, bahwa semua stabil. Dan ketika saya
berhadapan dengan lelaki sepertinya, yang cenderung menghindar ketika koneksi
semakin intens, orang yang sulit meng-ekspresikan apa yang ia rasakan—saya
merasa sangat lelah secara emosional. Ini mungkin sederhana bagi banyak orang,
namun hal ini menyakitkan untuk saya. Saya seperti tidak mengerti di mana saya
berdiri sekarang.
Apa yang ingin saya tegaskan di sini adalah, sangat mungkin bila rasa marah, sedih, kecewa, yang Anda rasakan dari perlakuan orang di sekitar Anda bukan hanya berasal dari apa yang terjadi saat ini. Banyak dari kita yang belum menyadari bahwa semua yang ada di sekeliling kita merupakan proyeksi dari apa yang terjadi dalam diri kita. Sangat memungkinkan bila akar dari masalah yang terjadi sebenarnya terletak dalam diri kita sendiri. Dari sana kita juga dapat melihat, bahwa ada korelasi dari luka lama yang secara tidak langsung mempengaruhi seperti apa 'ekspektasi' kita dalam menjalin sebuah hubungan.
Tetapi ada hal lain yang saya temukan, terlebih—terutama mengenai pola hubungan yang terus berulang, sekalipun pada orang lain yang memiliki karakter berbeda.
Dari sana saya mulai berpikir,
Why do I always attract an emotionally unavailable person into my life?
Why do I have to be a place where people can come and go?
Why am I the only one who has to figure it out when everything is falling apart?
And why do I have to be the person who always tried to make it work?
Keterkaitan Antara Siklus Karma dan Misi Jiwa
Saya mencoba mencari jawaban dalam diri saya. Dan akhirnya saya mengerti, bahwa ini semua tentang self love, kesalahan saya dalam memahami konsep mencintai diri sendiri.
Kita mungkin bisa mencintai orang lain ketika kita tidak mencintai diri sendiri, namun pertanyaannya, apakah mungkin cara kita mencintai seseorang benar ketika kita bahkan tidak mengerti bagaimana caranya mencintai diri sendiri?
Pola atau siklus berulang yang terjadi pada hidup saya selalu jatuh dalam
hal cinta kasih. Sesuatu yang memang bersinggungan langsung dengan misi jiwa saya. Mungkin, ini
cara Tuhan untuk menunjukkan bahwa saya tidak akan bisa melakukan misi
jiwa saya dengan benar, selama cara saya untuk mencintai diri saya masih keliru.
Saya menyadari selama ini, ketika saya menyayangi dan peduli
kepada seseorang, saya cenderung memberikan apapun yang saya milikki , tanpa
berpikir bagaimana diri saya setelahnya. Sama sekali tidak ada keseimbangan antara memberi
dan menerima. Proporsi Giving and receiving.
Saya seperti orang bodoh yang selalu mengatakan pada teman saya
“Its okay to think about your self first”, namun saya selalu membuat diri saya merasa
bahwa saya bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah orang lain. Saya
memberikan toleransi besar ketika seseorang melakukan kesalahan, namun saya
bersikap terlalu keras pada diri saya sendiri. Saya marah ketika seseorang memperlakukan
orang yang sayangi dengan tidak pantas, namun saya memberikan toleransi bila
orang memperlakukan diri saya dengan tidak baik.
Saya menyadari bahwa orang yang selama ini bersikap tak adil
pada diri saya adalah saya sendiri. Saya yang dari awal tidak tegas perihal apa
yang menjadi batas dan core value saya. Kondisi ini tentu sangat
berbahaya bila disaat yang bersamaan, saya masih memegang prinsip cinta kasih tanpa ego.
Prinsip cinta kasih tanpa ego, adalah bagaimana kita bisa memberi tanpa memikirkan apa yang akan kita terima nanti. Apakah prinsip ini baik? Menurut saya, ya. Prinsip ini membuat saya bahagia karena saya tidak pernah berekspektasi tentang apa yang harusnya saya dapatkan sebagai imbalan dari apa yang saya lakukan. Ini juga melatih manusia untuk lebih tulus, dan saya merasa, hal ini yang dunia butuhkan sekarang.
Namun prinsip ini tidak akan berjalan dengan baik bila kita belum menerapkan rasa cinta pada diri kita sendiri, kita juga perlu mengerti batas (self boundaries) yang dibuat sebagai bentuk apresiasi untuk diri sendiri.
Ada satu tulisan yang menyentuh hati saya, dan membuat saya sadar,
kurang lebih intinya seperti ini:
“If your life purpose
tends to serve people, either emotional, physical, or whatever that connect to
others, you have to make sure that you are happy. You have to feel happiness
inside of you”
Kalimat tersebut menyentuh hati saya, saya menyadari saya bisa memberi advice tebaik
ketika saya merasa senang, saya bisa menolong orang lain dengan lebih baik,
ketika diri saya stabil.
Bagaimana Saya Menghentikan Pola Yang Terus Terulang
Satu trait buruk yang saya milikki ketika saya menyayangi seseorang adalah : saya ingin berjuang hingga akhir, saya
ingin memberi kesempatan dengan harapan bahwa mungkin semua akan berubah,
mungkin saya hanya perlu memberikan sedikit waktu untuk membuat semua membaik.
Tapi akhirnya, tak ada yang saya dapatkan. Ada satu masa, dimana
ia membuat saya teringat bagaimana cinta bisa membuat saya bahagia, namun di
sisi lain ia juga bisa membuat saya berpikir bahwa kebahagiaan merupakan hal mahal untuk saya dapatkan. Di pembicaraan
terakhir kami, saya sempat merasa bahwa saya bisa kembali percaya padanya. Ia berhasil membuat saya berpikir bahwa ini sesuatu yang mutual, namun akhirnya hal yang sama terulang kembali.
Titik ini adalah titik
dimana saya mencoba untuk mengambil kendali, dua bulan ini saya berusaha untuk membangun rasa percaya diri saya, berada dalam kondisi ini terus menerus membuat self worth saya juga hancur, saya merasa saya tak layak , saya seperti sebuah pilihan. Dan dalam recovery yang berlangsung, saya sadar saya harus memutus siklus ini. Saya tidak bisa selalu menjadi pihak yang terus berusaha membuat semuanya membaik.
Bila Anda masuk ke dalam siklus seperti ini dalam hidup Anda, opsi terbaik untuk menghentikannya adalah dengan melakukan hal yang berbeda
dari apa yang Anda lakukan sebelumnya. Anda harus berani untuk memutar keadaan.
Bila Anda memiliki dua
pilihan dan sebelumnya Anda memilih jalan yang kanan, ketika pola ini kembali
disodorkan dalam hidup Anda, beranikan diri Anda untuk mengambil
keputusan pada apa yang belum pernah Anda pilih sebelumnya. Mudahnya, tidak mengambil tindakan yang menyebabkan kesalahan lama kembali terulang.
Mungkin terdengar sederhana, namun tidak mudah melihat semua dengan jernih ketika Anda berdiri langsung dipusat masalah, apalagi untuk pola berulang yang bahkan tidak kita sadari selama ini. Dan hal penting dari semuanya adalah memahami apa yang hidup coba
ajarkan kepada Anda.
Memahami Makna Dari Setiap Pertemuan
Jika Anda memahami bagaimana semesta bekerja, Anda akan
menyadari bahwa tidak ada satupun hal yang datang sebagai kebetulan. Saya
merasa Tuhan mengatur hidup saya sangat rapih, Tuhan menempatkan semuanya pada
waktu dan saat yang tepat. Walau terkadang, ego saya sebagai manusia membuat
saya masih sulit untuk langsung menerima apa yang terjadi dalam hidup saya.
Ada hal lain yang terjadi ditengah proses pelepasan siklus karma
saya. Kurang lebih desember tahun lalu, saya bertemu seseorang—yang mungkin dari
segi umur berada jauh di atas saya. (Tak ada hal yang istimewa disini, sayapun hanya terhubung dengannya dalam ikatan formal). Namun, ada hal menarik
yang dapat saya pelajari darinya.
Dari caranya berbicara, dari bagaimana ia berpikir dan lugas mengatakan pendapatnya, Ia menunjukkan kepada saya seperti apa karakter maskulin yang sebenarnya saya inginkan. Ia memberi gambaran traits apa yang bisa membuat saya bahagia, Bukan hanya keseimbangan antara emosi dan pemikiran, namun juga perlindungan. Perasaan aman untuk seorang perempuan.
In the end, it’s
not only about: I want someone who could hug me during my hard time, not just
someone who is stable and grounded, but also someone who be able to stand up for
me—who makes me feel safe. Who makes me feel like we booth protect and support
each other. So it is not only me—a feminine—who always be the source in a
relationship. Booth sides have to do their part. And also remember the important trait from a masculine: provide and protect
Jadi akhirnya bagaimana? Saya belum memiliki jawaban, saya tak tahu
siapa yang akan menjadi rumah saya nanti. Tapi untuk pertama kalinya, I
felt peace with the unknown. And it's so powerful.
Bila sebelumnya saya mencintai seseorang dengan buta. Saya menerima
semuanya tanpa sadar bahwa ada hal yang membuat saya tidak bahagia. Kini saya
tahu apa yang saya inginkan dalam sebuah hubungan, saya mengerti apa yang bisa
membuat saya bahagia. Saya tidak takut untuk memulai cerita baru, entah dengan
orang baru, orang lama, atau dengan seseorang yang mungkin memiliki latar
belakang yang berbeda sekalipun, that's okay—but only if I feel
this is worth and match my energy. Karena saya tidak bisa hanya menerima
sesuatu yang artificial, saya menginginkan koneksi yang real.
Terimakasih untuk seseorang dari 2019 yang membantu saya mempelajari
pelajaran hidup penting yang harus saya mengerti, dan terimakasih untuk orang
yang membantu saya menyadari apa yang saya inginkan
dalam sebuah hubungan, apa yang benar-benar bisa membuat saya bahagia.
Thanks for reading,
Take care, I love you.
Puti Sabrina